Aku Bukan Untuk Dibuang, Mama.

 

Sedikit rasa penyesalan tergantung dihatiku. namun, aku mulai menghapus semua kenangan bersama Larisa dan memulai hidup baru tanpanya. sepuluh tahun berlalu, aku dan suamiku sudah memiliki 2 anak yang normal, Kamila dan Daniel. mereka adalah kakak beradik yang normal dan akur, senang sekali melihatnya.
Minggu pagi, aku dan suamiku berniat membersihkan rumah bersama kedua buah hati. Saat aku membersihkan gudang, kulihat selebar kertas, dan terpampang sepasang pasangan muda dan anaknya. Ya, itulah kami. dan siapa anak itu? putih, bersih, manis, cantik. Aku tersadar, Larisa. Ialah putri pertama kami, yang kami buang ke panti asuhan tanpa rasa dosa.
Keesokan hari, aku meminta izin suamiku pergi ke luar kota, dengan alasan pergi bertemu kakakku, di Jakarta. Untunglah, suamiku mengizinkannya. Dengan syarat, saat aku kembali, aku harus membawa kabar baik. Apapun kabar itu, tidak boleh buruk karena Ia sangat sayang padaku, dan tak mau hal buruk terjadi padaku.
Aku berangkat, dan aku pergi ke panti asuhan dimana Larisa tinggal. Disana aku lihat, tak sedikitpun anak yang mirip dengan Larisa. Dan memang benar, Larisa sudah tak ada di panti itu. Larisa sudah di adopsi oleh kedua pasangan yang menginginkan seorang anak, namun sayang mereka tak bisa memilikinya.‘masih adakah yang menginginkan Larisa? seorang anak keterbelakangan mental yang lugu?’ itulah yg ada di benakku. Aku meminta data orang tua tersebut, dan mencarinya.
Beruntunglah aku, aku bertemu dengan kedua orang tua itu. “Oh, iya mbak. Dia ada di kamar, sebentar, saya panggilkan dulu Firandanya.” begitulah jawab orangtua angkat Larisa, yang memberi nama Larisa menjadi Firanda. tak sampai lima menit, keluarlah seorang gadis cantik, manis, putih, dan terlihat sangat normal. “ada apa? siapa anda?” sahut gadis itu. “aku ingin bertemu Firanda, ada dek?” “saya Firanda. Ada apa?” terurailah tangis berjatuhan dipipiku, mendengar suaranya yang lembut, aku langsung memeluknya. “aku ibumu, aku orang yang melahirkanmu, naak.”. “apa?!” tersentak ia melepaskan pelukanku, sambil menatap tajam. “kamu ibuku yang melahirkanku? kau kah itu? kaukah yang membuangku ke panti asuhan sampai aku merasa sendirian dan terkucilkan? ” sahutnya. Aku hanya bisa terdiam dan menangis, ternyata orang tuanya sudah membinanya dengan baik sampai ia bisa memarahiku selancar ini. “maafkan aku nak, tapi aku hilaf saat itu.. maaf nak, maaf.. “. “seenaknya itu kau meminta maaf? setelah sebelas tahun kau meninggalkan aku hanya karena aku memiliki keterbelakangan mental?” sahutnya dengan nada marah. “aku minta maaf dari dalam hatiku nak, aku sayang padamu, aku ingin ayah melihatmu, aku ingin kau mengenal adik adikmu dirumah..” air mata terus mewarnai kesedihan, sementara Ibu angkatnya heran dan berusaha menenangkan Larisa. “mama, biarkan orang ini pergi. ” Larisa menyuruh mama angkatnya untuk mengusir ibu kandungnya sendiri? sungguh, aku sadar aku berdosa. aku sadar aku telah membuat kesalahan yang begitu besar sehingga membuat penyesalah luar biasa. “tapi nak, dia mamamu. mama kandungmu. mama yang sudah melahirkanmu. ayo Firanda, maafkanlah dia. sejahat apapun dia, dia tetap Ibumu, yang sudah melahirkanmu, dan memberimu kasih sayang..” sahut mama angkatnya dengan lembut dan penuh kasih sayang, sungguh berbeda denganku. aku hanyalah ibu yang kejam. sangat kejam! “Maaf, Aku Terlanjur Sakit Hati karenamu. dan aku tak mau merusak kehangatan keluargamu sekarang. ” terlihat perubahan tatapannya, tatapannya menjadi dingin disertai airmata yang tertahan di matanya.”Dan maaf, Aku Bukan Untuk Dibuang, Mama” terjatuhlah tangisan dari matanya, disertai suara lembutnya. Apa? dia memanggilku Mama? apakah itu artinya dia sudah menganggapku mamanya? “mama..” pelukkan hangatnya menyambut rasa haruku. “kamu mau pulang kan? ayolah, ikut mama yaa? mama ingin kamu melihat wajah ayahmu.” “iya ma, tapi aku tak bisa melupakan kasih sayang mama tiriku, selama mama tak ada, dia sangat sayang padaku.” sahutnya sambil mentap mama tirinya. Setelah perbincangan, mama tirinya menyerahkan Larisa ke pelukkanku dan kembali bernama Larisa Larasati. sungguh senang bukan main, aku bergegas pulang ingin membawa kabar gembira untuk ayahanda dari Larisa.
“Ayaah? Mama bawa kabar gembira! Lihat siapa disini?”. Turunlah sang ayahanda dari Larisa, dan aneh melihat aku membawa seorang gadis. “kabar gembira? apa? yang kau bawa adalah anak haram kan?” sahutnya marah. mengingat keterbelakangan Larisa, dia sangat mudah terbawa emosi walau sudah sembuh, saat ada yg menyakitkan, dia menangis, saat senang dia tersenyum lebar, dan saat marah dia mengamuk. tangisan perlahan jatuh di pipi Larisa, mendengar ayahnya tak mau mengakuinya. “apa maksudmu? ini anakmu, ini anak kita yang dulu, yah. ini Larisa !” mendengar perkataanku tadi, suamiku terdiam, begitu pula Kamila dan Daniel. mereka memandang Larisa seperti alien yang masuk ke bumi. “sungguh? diakah putri cantik kita? Kamila, Daniel, ini kakak kalian. sambutlah dia dengan hangat 🙂 ”
‘inilah yang ku inginkan, kehangatan keluarga asliku. Terima Kasih ya Tuhan, kau memang yang terbaik.’ ~Larisa Larasati.

Sumber: #coratcoret

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seorang Gadis Buta

Nick Vujicic : Motivator Tanpa Tangan dan Kaki

" KISAH UANG 150 JUTA "