PERAN DESA ADAT DALAM PENGEMBANGAN PARIWISATA DI BALI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar belakang
Secara
historis desa merupakan
embrio bagi terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia.
Entitas sosial
sejenis desa atau masyarakat adat dan lain sebagainya
telah menjadi
institusi sosial yang mempunyai posisi sangat penting.
Mereka merupakan institusi
yang otonom dengan rradisi,
adat istiadat dan hukurnnya
sendiri yang yang mengakar kuat. serta relatif mandiri dari campur tangan entitias kekuasaan
dari luar. Kehadiran dan cam pur
tangan
negara-bangsa
modem
ke dalam semua
sektor kehidupan masyarakat membawa implikasi pada
melemahnya
kernandirian dan kemampuan masyarakat desaSejak rezim orde baru berkuasa (1966-1998)Pemerintahan pusat telah menjadi sumber
dari semua kekuasaan
dan kebijakan yang ada, termasuk dalam hal pemerintahan desa.
Kehadiran dominasi negara
dalam
peme rintahan pada tingkatan desa
juga diwujudkan dengan
adanya
birokratisasi pada pemerintahan desa. Semua
institusi dan individu lokal saar itu pada akhirnya mengalami negaranisasi sehingga simbolnegara menjadi
sangat dominan dealam
pemerintahan dan komunitas pada tingkatan desa. Pada sisi yang lain, tanpa
menghiraukan heterogenitas masyarakat adat
dan pemerintahan asli,
UU No.5/1979 melakukan penyeragaman pernerintahan pada level desa secara nasional. Uniformitas ini secara sederhana diwujudkan dengan pemberian nama" desa" kepada semua
bentuk pemerlntahan level desa.'
Dalam UU No.5/1979, penguasa melakukan kebijakan sentralisasi, birokratisasi, dan uniformitas pemerintahan
dan komunitas pada tingkatan desa,
Seiring
dengan perkembangannya, terjadi
proses reformasi politik
dan pergantian pemerintahan
pada tahun 1998,kemudian telah diikuti dengan lahirnya UU No. 22/1999
tentang pemerintahan daerah.
UU ini berisi antara
lain, mencabut UU No. 5/1979.
Dalam UU yang baru ini, spirit pelaksanaan
sentralisasi, birokrasi dan uniformitas tidak lagi diJanjutkan sehingga dere gulasi dan debirokratisasi terhadap
pemerintahan desa mulai terjadi.
Hal ini diwujudkan dengan adanya kesempatan
bagi hidupnya kembali
pemerin tahan asli di tingkat
desa, pengaturan ten tang pemerintahan
desa yang tidak lagi di atur
di tingkat nasional dan diserahkan untuk dikelola di tingkat daerah Kabupaten dan Kota dan lain sebagainya.
Dalam pasal 99 UU No. 22/1999 mengenai kewenangan desa,
tercantum secara tegas bahwa kewenangan desa mencakup kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul
desa.!
Kewenangan
inilah
yang kemudian dibaca sebagai pengakuan terhadap desa atau yang disebut dengan nama lain, sebagai sebuah
entitas politik, kultural dan hukum.
Pengakuan terhadap desa sebagai
entitas politik, budaya dan hukum
di
masa laJu sekaligus merupakan pergeseran politik yang signifikan
terhadap model-model penyelenggaraan pemerintahan daerah masa Orde Baru yang cenderung sentralistik serta rnelakukan politik
penyeragaman pemerintahan desa melalui UU No.5/1979,
tanpa mengindahkan
keberagaman
kultur
masyarakat adal dan bentuk pemerintahan
asli lokal.
Dalam UU No. 22/1999
terkandung beberapa perubahan mendasar yang menyangkut penyelenggaraan pemerintahan daerah
yaitu: pertama, pelimpahan wewenang
mengenai pengaturan pemerintahan di tingkat desa dari
pemerintah pusat.
kepada pemerintah Kabupaten dan Kota, Kedua,
dimungkinkan
munculnya variasi di tiap-tiap daerah mengenai model model pemerintahan di tingkat desa akibat perubahan kebijakan dari yang bersifat sentralistik mengedepankan uniformitas
menuju kebijakan yang desentralistik dan memperhatikan heterogenitas budaya dan politik
lokal. Ketiga, dominasi peran birokrasi mengalami
pergeseran digantikan dengan menguatnya peran institusi masyarakat lokal
atau adat. Implikasi diterapkannya UU No. 22/1999 adalah munculnya bentuk - bentuk pemerintahan asli yang digali dari identitas
kultur daerah sebagai pengganti model penyeragaman bentuk
pemerintahan desa Jawa. Di Bali, pemerintahan Banga
atau Desa
Adat menempati posisi yang
semakin
penting dengan kembali diberlakukannya aturan adat seperti
awig-awig.
Begitu juga di Minahasa maupun Sumatera Utara.
Struktur baru
pemerintahan daerah dan desa
yang didalamnya termuat unsure pembagian dan pemisahan
kekuasaan, sudah tentu merupakan segi positif dalam kerangka pembagian suatu
pemerintahan yang baik
dan
demokratis. Otonomi yang di dalamnya
termuat pula otonomi desa,
sudah tentu memberi harapan baru bagi pengelolaan kehidupan
masyarakat yang lebih dinamis,
dan lebih mengedepankan prakarsa dari masyarakat.
Di Bali terdapat
dua organisasi pernerintahan desa yang berbeda secara
substansial dan fungsional, yaitu Desa Adat dan Desa Dinas. Masing-masing rnempunyai struktur
dan
fungsi sendiri, sehingga sifat dari keterikatan
anggota masyarakat terhadap
organisasi itu berbeda
pula. Desa Adat adalah suatu kesatuan wilayah
dimana
warganya
secara bersama-sama meng konsepsikan dan mengaktifkan upacara
keagarnaan untuk memelihara ke sudan desa.
Adapun fungsi
uta rna Desa Adat adalah mengkonsepsikan dan rnengaktifkan upacara keagarnaan untuk mernelihara kesucian
desa.
Secara norrnatif prospek keberadaan Desa Adat sebagai desa otonom adalah sangat cerah.
Namun dilihat
dari realitas sosial,
pemberdayaan, pelestarian, dan pengembangan Desa Adat di Bali dihadapkan kepada ber bagai rnasalah,
kendala, tantangan dan sekaligus peluang di era globalisasi
dewasa ini.
Sejak tahun 1978 hingga tahunl998 pembangunan daerah Bali ber
wawasan lingkungan dan budaya yang bemuansa religius dalam berbagai aspek pembangunan didongkrak
dan
didorong
oleh laju perturnbuhan
industri pariwisata. lndustri
Pariwisata di Bali sangat rnenjanjikan harapan
dan prospek
akomodasi yang positif. Hal ini
mendorong laju pertumbuhan ekspansi kekuatan ekonomi konglemerasi dan kekuatan-kekuatan ekonomi trans nasional untuk mengadakan investasi dalam berbagai
kegiatan eko nomi. Di sisi lain, pemerintah Indonesia menempatkan industri pariwisata di Bali sebagai salah satu potensi
utama ekonomi nasional
di sektor non minyak dan gas bumi. Arah pengembangan industri pariwisata
sebagai
sektor andalan untuk meraup devisa.
Hampir sebagian besar Desa Adat di Bali yang jumJahnya
1.336 buah kondisi kemampuan dan keuangannya sangat memprihatinkan. Padahal Desa Adat di Bali menempati posisi
kunci dalam upaya mengkonsepsikan
dan mengaktifkan penggalian, pengayaan, pemeJiharaan
dan pengembang an kebudayaan
Bali
yang dijiwai oleh agama
Hindu
sebagai
faktor
keunggulan bersaing industri
pariwisata di Bali.
Bahkan kebudayaan Bali
itu sendiri dijadikan label pariwisata
yakni wisata budaya
dan sekaligus modal dasar pernbangunan daerah Bali.
lronisnya, Desa Adat di Bali tidak memperoleh pembagian pendapatan secara nyata bersumber dari aktivitas industri pariwisata sebagai sumber pendapatan
keuangan desa.
Melihat fenomena seperti tersebut eliatas, penulis
sangat tertarik untuk mengkaji wang mengenai peran
Desa
Adat dalam menunjang
pariwisata Bali. Adapun permasalahan yang diangkat adalah: "Bagaimana peranan Desa Adat dalam pengelolaan pariwisata di Desa Adat Beraban
kabupaten Tabanan Bali khususnya setelah dikeluarkannya UU no. 22 tahun 1999?~
1.2.Struktur Pemerintahan
Desa di Indonesia
Secara
sosioJogis desa menggambarkan suatu bentuk kesatuan
masya rakat atau komunitas penduduk yang bertempat tinggal dalam suatu
lingkungan di mana mereka saling
mengenal dengan baik dan corak ke
hidupan mereka
reJatif homogen serta banyak bergantung kepada alamo
Dalam pengertian sosiologis tersebut, desa diasosiasikan
dengan
suatu
masyarakat yang hidup secara
sederhana, pada umumnya hid up
dari lapangan pertanian,
ikatan sosial,
adat dan tradisi
masih kuat,
sifatnya jujur dan bersahaja, penelidikannya relatif rendah dan
lain sebagainya.
Adapun
pengertian kedua
adalah desa sebagai suatu organisasi
pemerintahan atau organisasi kekuasaan yang secara
politis mempunyai wewenang tertentu karena
merupakan bagian dari pemerintahan
negara.
Oesa sering dirumuskan sebagai suatu kesatuan masyarakal hukum yang
berkuasa menyelenggarakan pemerintahan sendiri. Sebagai suatu kesatuan
masyarakat hukum rnaka desa mempunyai
wewenang dalam lingkungan wilayah untuk
mengatur dan
memutuskan sesuatu untuk
kepentingan masyarakat hukum
yang bersangkutan.
Kesatuan
masyarakat hukum
tersebut mengurus kehidupan mereka secara mandiri (otonom), dan
wewenang untuk
mengurus kehidupan mereka secara mandiri (otonom), dan wewenang untuk
mengurus dirinya sendiri itu dimilikinya semenjak kesatuan
masyarakat hukum
itu terbentuk tanpa diberikan oleh orang atau pihak
lain. Dari sinilah
asalnya
mengapa desa dikatakan memiliki otonomi asli
yang berbeda dengan daerah
otonom lainnya seperti
propinsi dan kabupaten yang memperoleh otonominya dari pemerintah pusat
atau pemerintah nasional,
Dari kacamata pemerintah nasional, pemerintah desa
dipandang sebagai unit
pemerintahan terendah yang menempati sebagian dari wilayah negara. Oalam
konteks ini pemerintahan nasional adalah jalinan antar sistem
- sistem pemerintahan desa. Dengan kata lain,
pemerintah desa hanya berperan sebagai sub-sislem
yang mati
hidupnya tergantung pada
ke marnpuan supra sistem yaitu pemerintah nasional. Apabila kungkungan struktural tersebut tidak diperhatikan,
maka pemerintah desa bisa tampil sebagai suatu sistem tersendirl. Jika pandangan
ini
yang dianut maka pemerintah nasional
bisa dipandang sebagai artikulator dan integrator dari bermacam-macam kepentingan sistem-sistem pemerintahan yang tumbuh
dan berkembang pada level grass roots.
Sebagai suatu organisasi
kekuasaan, struktur pemerintah desa berpusat pada kepala desa yang adakalanya didampingi oleh suatu badan penasehat (misalnya dewnn ",orokaki, dewan tetua desa dan
kerapatall adat). Sebutan bagi kepala desa sebelum
berlakunya Undang-undang No.5
tahun 1979 berbeda-beda di tiap daerah, di Jawa disebut Luroh, Kuwu, Petinggi, KIebun; Wnli Nagri (Sumatera Barat), Pesirah (Sumatera Selatan),
Keucik atau Rnja Cik (Aceh), Demnng, Tumenggung, Pembeknl (Kalimantan), Perbekel (Bali), Raja atau Kepnla Negeri (Maluku),
Humum Tua,
Ta'uda'a dan Snllgadi (Sulawesi) dan lain-lain. Dalam melaksanakan
tugas sehari-hari, biasanya kepala desa mempunyai seorang pembantu yang menjalankan bermacam macam fungsi seperti: pesuruh,
pelayan, pengawal
dan pekerjaan-pekerjaan lain yang diperintahkan
oleh kepala desa,
Dalam
perkembangannya, seiring dengan keterlibatan
desa daJam administrasi negara. pembantu kepala desa yang utama adalah sekretaris
desa (seringjuga disebut
carik, seriang, penyarikan, juru tulis atau panitera).
Oi desa-desa di mana tugas-tugas pemerintah desanya bertambah banyak, pembantu
kepala desa
bukan hanya seorang
sekretaris desa tetapi juga
perangkat desa yang menangani bidang pe.kerjaan tertentu
sepert:i:bidang keamanan ipoiisi desa, kepeiengan, tamping, jogoboyo, kepala jaga polisi, mayulu,'
kapitall, polisi kampung, dll.): bidang pengairanjirigasi (tuwowo, jogo tirto, juru air, kepala persawahan,
mayulu ho'lopo, malltri air); bidang agama
dan atau adat (penghulu, mukim, imam, modin, kaum,
pemangkll) dan lain-lain,"
Di desa-desa
yang
wilayahnya luas, di mana
tempat
pemukiman
penduduk terbesar wilayah desa terbagi dalam
kesatuan-kesatuan yang, lebih kecil yang masing-masing dipimpin oleh
kepalanya sendiri-sendiri.,yang juga bertindak sebagai pembantu kepaJa
desa. Oengan struktU~.
semacam itu, maka organisasi pemerintahan desa seperti organisasi pemerintahan nasional di mana Presiden
dibantu
oleh para menteri yang bertugas pada
bidang-bidang tertentu,
dan kepala-kepala wilayah daerah, yang memimpin pemerintahan di lingkungannya sendiri. '
Sebagai pemimpin kepala desa
berwenang membuat keputusan keputusan desa, baik secara sendiri atau
dengan pertimbangan lembaga. penasehat yang ada. Dalam hal yang sangat penting mungkin sebelum.
mengambil keputusan kcpala desa memerlukan musyawarah dengan
seluruh warga desa yang sudah dewasa atau hanya dengan
kepala-kepala keluarga sebagai perwakkilan seluruh penduduk desa. Kendatipun
kepala desa adalah pemimpin yang tertinggi, tetapi karena masyarakat desa selalu
menjaga harmon; kehidupan,
maka jarang sekali
terjadi tindakan yang sewenang-wenang yang
dilakukan oleh kepala
desa terhadap warganya.
Apabila ada kepala desa yang bertindak
sewenang-wenang sehingga meng ganggu harmoni kehidupan warga
desa, sepanjang tidak terdapat campur tangan dari luar maka selalu terdapat mekanisme yang menengah hal ini berlangsung berlarut-larut. Mekanisme tersebut
bisa berupa teguran
dari lembaga-lembaga adat atau tradisional yang berpengaruh, bisa pula berupa sikap dan tindakan warga desa
dan
acara-cara lainnya
yang
langsung
maupun tidak
langsung akan mengakhiri
tindakan-tindakan
yang tidak dikehendaki oleh warga desa tersebut.
1.3.Desa Adat: Model Pemerintahan
Desa (LokaJ) di Bali
A.
Pengertian Desa Adat
Secara teoritis pengertian Desa
Adat menurut Raka adalah
suatu
kesatuan wilayah
di mana para
warganya secara
bersama-sama meng
konsepsikan dan mengaklifkan
upacara keagamaan untuk
memelihara kesucian desa. Rasa kesatuan
sebagai warga Desa Adat terikat oleh karena adanya karnllg desa (wilayah desa), awig-awig desa (sistem
aturan
desa dengan peraturan peJaksanaannya), dan pura khnynngnn
tig« (tiga pura desa, sebagai suatu sistem tempat persembahyangan bagi warga desa adatj.'
Sedangkan pengertian Desa Adat secara- formal,
sebagaimana
disebutkan dalam
Peraturan Daerah (perda)
Nomor: 06 Tahun 1986 Pasal
1 (e), adalah
kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Daerah Tingkat
I Bali yang mempunyai suatu kesatuan
tradisi dan tata krarna
pergaulan
hidup masyarakat umat
Hindu secara turun temurun dalam ikatan
Khayangan Tiga (Khayangan Desa) yang mempunyai wiJayah tertentu dan harta
kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
Dalam UU No. 22 Tahun 1999, yang dimaksud dengan Pemerintah
Desa (Desa Dinas) adalah kegiatan pemerintahan yang dilaksanakan oleh
pemerintah desa,
yang daJam hal ini adalah kepala
desa dan perangkat desa. Sementara itu kewenangan desa mencakup kewenangan-kewenangan
yang yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa, kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh daerah dan pemerintah; dan tugas pembantuan
dari pemerintah, baik pemerintah propinsi, dan/ atau pemerintah kabupaten.
Secara normatif prospek
keberadaan Desa Adat sebagai desa otonom
adalah sangat cerah, Namun dilihat dari realitas sosial,
pemberdayaan, pelestarian, dan pengembangan Desa Adat di Bali dihadapkan kepada 00- bagai masalah, kendala, tantangan
dan sekaligus peluang di era globalisasi dewasa ini.
Desa Pakraman, yang lebih dikenal dengan
Desa
Adat, lahir karena tuntutan kodrati manusia
sebagai
rnakhluk
sosial,
yang
tidak
mampu
memenuhi berbagai kebutuhannya secara
individual. Mereka sepakat
untuk hidup bersama-sama daJam suatu ikatan tertentu guna
mempermudah
pencapaian tujuan atau pemenuhan
berbagai
kebutuhan.
Secara historis
belum diketahui kapan dan bagaimana
proses
awal terbentuknya Desa Adat di Bali.
Ada yang menduga bahwa
Desa Adat telah ada di Bali sejak zaman neolitikum dalam zaman pra-sejarah, yaitu pada saat manusia telah mempunyai pola pemukiman yang menetap dengan budaya bercocok tanam. Sedangkan menurut kepercayaan lokal, terbentuk
nya Desa Adat di Balisering dikaitkan
dengan kedatangan Resi Markandeya, seorang pendeta besar penyebar Agama Hindu di Bali. Pada perkembangan
selanjutnya, keberadaan Desa Adat yang dicirikan
oleh kepemilikan tiga pura
utama (knhyangmlliga) dikaitkan dengan hasil pertemuan segi tiga (samllQIl liga) yang dilakukan oleh Mpu Kuturan pada zaman Bedahulu (abad XI), yang bertujuan untuk
mempersatukan berbagai aliran (Sampradaya) Agarna Hindu yang banyak berkembang
di Bali pada saat itu.
B.
Karakteristik Desa Ada!
Desa Adat
di Bali mempunyai
identitas
unsur-unsur sebagai
per sekutuan masyarakat hukum adat, serta
mempunyai beberapa ciri khas
yang membedakannya dengan
kelompok sosiallain. Ciri
pembeda tersebut
antara lain adanya wilayah tertentu yang mempunyai batas-batas yang
jelas, dimana sebagian besar warganya
berdomisili eli wilayah tersebut dan adanya bangunan sud
milik Desa Adat berupa kahyangan tiga atau
kahyangan desa. Di samping itu, Desa Adat juga mempunyai tatanan yang
mantap, yang merupakan satu kesatuan
yang secara JokaJ dikenal dengan berbagai istilah gebog. sikut, banua ataupun tegak dengan berbagai ukuran seperti domas (BOO),somas (400), salak (200), satus (100) dan sebagainya.
Suatu komunitas
atau organisasi tradisional eli Bali dapat cliidentifi
kasikan sebagai suatu Desa
Adat apabila memenuhi ciri-ciri seperti: (1) mempunyai batas-batas geografis yangjeJas, yang umumnya berupa batasan
alam seperti sungai, hutan, jurang,
bukit dan pantai
ataupun batas
buatan seperti tembok penyengker; (2) mempunyai anggota
atau kerama yang jelas, dengan persyaratan
tertentu
dan sebagian
besar kerama Desa Adat ber
domisili di wilayah tersebut; (3) mempunyai kaJryangaTl
tiga
atau kahynTlgan desa, atau pUfa Jain yang mempunyai fungst dan peranan
sama dengan kahyangnTl liga. Hal ini perlu ditegaskan
karena banyak
Desa Adat, Pura Desa
dan Pura Puseh
ada dalam satu kompleks, sehingga seakan-akan hanya merupakan satu pura. Bahkan
ada Desa
Adat yang ketiga kahyangan tiganya ada dalam satu kompleks; dan (4) mempunyai otonorni, baik keluar
maupun
ke dalam. Otonomi
ke dalam berarti kebebasan atau kekuasaan
untuk mengatur rumah tangganya sendiri,
sedangkan otonomi keluar diarti
kan sebagai kebebasan untuk mengadakan
kontak langsung de.ngan
institusi di luar Desa Adat.
C.
Tipe
Desa Adat
di Bali
Berdasarkan sistem dan struktur
organisasinya, Desa Adat eli Bali dapat dibedakan menjadi liga lipe yaitu, sebagai berikut:
•
Pertama, Desa Bali Age (Bali Mula) yaitu desa-desa yang masih kuat kepala Dinas Kebudayaan propinsi daerah Tingkat I Bali, Karateristik dan Otonomi Desa Adat
suatu
kajian
Praklis,
disampaikan dalam
seminar
peranan desa adat dalarn pembangunan daerah bali, 13 dan 14 September 1994.
Universitas Udayana. Bali.
memegang
sistem serta adat istiadatnya dan tidak
atau
hanya
sedikit
terkena
pengaruh kerajaan Majapahit. Desa-desa seperti
itu masih banyak terdapat
di Bali
pegunungan, seperti: sebagian dari
Daerah
Tingkat II
Buleleng, jembrana, Gianyar, Bangli dan Karangasem.
Kedua, Desa Apanage yaitu
desa-desa yang
memakai system kemasyarakatan seperti pola tata kemasyarakatan
kerajaan Majapahit. Oi dalarn kitab "Negara Kerta Gama" disebutkan
bahwa Bali mengikuti tata cara kehidupan di Majapahit. Desa-desa
yang tergolong dalam kategori ini sebagian besar terletak di Daerah
Bali daratan, seperti:
sebagian dari daerah kabupaten Tingkat II Tabanan,
Badung, Bangli,
klungkung, Karangasem, Buleleng, Jembrana dan Gianyar.
Ketiga,
Desa baru, yaitu desa-desa yang timbul sebagai akibat dari perpindahan penduduk
yang sernula didorong
oleh keinginan untuk mendapatkan lapangan penghidupan. Pada umumnya desa-desa yang demikian dijumpai pada beberapa desa di daerah kabupaten Jembrana
dan Buleleng.
Perbedaan tipe Desa Adat juga berpengaruh
pada sistem dan struktur organisasi pemerintahan
desa yang ada.
Sebagai gambaran dapat di kemukakan perbedaan antara
dua jenis perangkat
desa, yaitu Desa
Bali
Age dan Desa Apanage. Pada Desa Apanaga perangkat desanya terdiri
atas: (1) Bandesa (sebagai Kepala Desa-Adat); (2) Patajuh Bandesa
(sebagai wakil dari Bandesa); (3) Pamjarikan (sebagai juru tulis Bandesa): (4) Kasinoman-Desa (sebagaijuru arah);
dan (5) Pamanglcu (untuk urusan upacara
di Pura)
Sedangkan untuk Desa Ball-Aga, istilah
dan susunan perangkat desa atau
prajuru-desa adalah:
(1) Dua orang
Iero Baya/Kubayan aero Bayan
Mucuk dan [ero Bayan Nyoman); (2) Dua orang [ero Bahu Oero Bahu Mujuk
dan [ero Bahu Nyoman); (3) Dua Orang Jero Pati Oeto Pall
Mucuk dan Jero Pati Nyoman); dan (4) Dua orang
Singgukan (Singgukan Mucuk dan
Singgukan Nyoman).
D.
Peran
Desa Adat dalam
Pariwisata
Kepariwisataan adalah sejumlah fenomena dan hubungan yang terjadi karena adanya perjalanan orang-orang ke suatu tempat dari ternpat tinggal mereka asalkan mereka tidak tinggal menetap dan tidak untuk tujuan bekerja untuk mendapatkan penghasilan. Pariwisata dianggap sebagai
suatu fenomena campuran, karena pariwisata mencakup semua
kejadian yang dilakukan oleh wisatawan yang
merupakan orang
asing di tempat
yang dikunjungi dan umurnnya
mereka
menunjukkan
tingkah
lain daripada
penduduk
setempat. Adapun
sifatnya yang sementara dan singkat membedakan
pariwisata dengan
migrasi yang mengandung pengertian sebagai perpindahan penduduk untuk jangka waktu yang lama dan bahkan
untuk menetap selamanya.
Pariwisata daJam
pengertian yang mumi
sebenarnya adalah
kegiatan bersenang-senang, yang untuk
itu orang mengeluarkan uang yang dibawa dari tempat asal. Di samping itu diperlukan pula
waktu
yang senggang. Dengan pengertian seperti
itu, berarti pariwisata memerlukan waktu senggang yang khusus dan merupakan rekreasi
yang khusus pula. Tetapi meskipun
pariwisata mengandung arti perjalanan, tidak semua perjalanan
dapat dikatakan sebagai pariwisata,"
Konsep pariwisata
yang dikembangkan di Bali tidak hanya melihat pada dasar falsafah yang dipakai tetapi
bermakna pula mengendepankan faktor-faktor budaya baik sebagai
daya tarik wisata maupun sebagai
pelaku usaha pariwisata. Dalam hal ini adalah memberi fungsi pada lembaga lembaga yang tumbuh atas dasar kebudayaan Bali.
Dalam pengembangan pariwisata
Bali antara Desa
Dinas dan Desa Adat merupakan dua komponen yang saling
terkait
dan
tidak
dapat
dipisahkan satu dengan
yang lain. DaJam hal ini, Desa Adat berperan sebagai ujung
tombak penghubung antar masyarakat dan pemerintah daJam rangka pelaksanaan program-program pemerintah khususnya dalam bidang pariwisata.
Desa Adat
memang
merupakan desa
yang sangat
potensial dalam menunjang pariwisata di Bali, karena memiliki
berbagai potensi sebagai aset pariwisata, di samping juga karena corak kepariwisataan di Bali adalah pariwisata budaya.
Beberapa potensi yang yang dimiliki
oleh Desa Adat dalam menunjang pariwisata adalah: pertama, struktur pola menetap di pedesaan dilandasi
oleh konsep: Iriililakarnna, tirmandala, triangga, dan huluteben, sehingga menampilkan corak tersendiri yang khas dalam sistem kchidupan
masyarakat di Bali. Keserasian hubungan
antara: uua-agama dengan tata-pawongal1 dan tata-pnlemahnn dalam konsep trihitaknrana, memberikan perasaan
hidup
yang seJahtera di pedesaan.
Demikian pula pembagian polemnhan-desa, paiemahnn pura dan
palemaJran
hlmian menJadi tiga yaitu utamll-mandala, mad/lya-mandala dan kanistlla-mandala menurut trimandala adalah serasi dengan konsep triangga dalam dirl manusia yaitu:
utama-aligga, madflyn-angga dan kanistha-angga. Trimandala adalah konsep yang berorientasi
horizontal-vertikal. Hulu-tebell
adalah suatu konsep yang sangat
aktual
dalam kehidupan masyarakat di Bali.
Kedua, sesuai dengan karakter sosio-reiigius masyarakat di Bali, bahwa kegiatan upacara-upacara agama Hindu diwujudkan dalam kehidupan
sehari-hari, terlebih pada masyarakat di pedesaan. Ketiga, Desa. Adat di sarnping memancarkan nilai-nilai agarna
Hindu, namun juga merupakan
suatu pusat
pembinaan kebudayaan Bali.
Keempat, dari sejak dahulu
suasana
kehidupan
masyarakat
di Desa Adat adalah aman dan tentram. Hal yang demikian itu disebabkan
karena telah terwujudnya suatu:
trepti ring tata-agama, trepti ring tata-pmoongan,",wah
trepti
ring
tata-palemanan.
Kehidupan Desa Adat di Bali sebagai
lembaga sosial religius,
telah
dirasakan oleh
Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Bali.
Desa Adat banyak memberikan sumbangan yang sangat berharga terhadap kelang
sungan kehidupan masyarakat dan pembangunan daerah di Propinsi Bali. Hal
tersebut disebabkan oleh kehidupan
di Desa Adat telah mampu menyatukan petunjuk ajaran agama Hindu yang menjiwai
masyarakat umat pendukungnya dengan pelaksanaan Adat dalam kehidupannya. Menyatu kan pelaksanaan Adat dan Agama Hindu pada masyarakat di Desa Adat, telah tumbuh dan berkembang sepanjang sejarah selama berabad-abad lamanya.
Desa Ada di Bali merupakan lembaga
(desa) tradisional yang tumbuh
dan berkembang sepanjang sejarah selama berabad-abad. Keberadaannya telah memberikan sumbangan
yang sangat berharga terhadap kelangsungan kehidupan masyarakat, perjuangan kemerdekaan
dan pembangunan. Di samping itu penerapannya juga sangat besar dalam bidang agama, sosial kultural, otonomi dan pertahanan keamanan.
Secara normatif, sebagai lembaga sosial-religius, Desa Adat berfungsi untuk melakukan
upaya-upaya
religius yaitu hubungan antara manusia
dengan sang Pencipta. Sementara itu dalam dalam bidang pmuongarr, desa
adat merniliki tugas untuk menata krarna atau masyarakat adat. Sedangkan
di bidang palc1IIaltarl,Desa Adat memiliki
tanggung jawab dalam
menjaga keamanan wilayahnya.
Secara
empiris, cakupan ketiga aspek inasebetulnya cukup luas. Salah satu contoh, dalam aspek pawongnn, Desa Adat bisa ikut ambil
bagian dalam penanganan penyakit
masyarakat seperti: gelandangan dan pengemis, atau bahkan rnasalah narkoba dan minuman
kerns (miras).
Dalam era globalisasi di mana kehidupa.n masyarakat ditandai suasana kompetitif dan perubahan sosial yang cepat menuntut berbagai perubahan adaptif; sementara itu kondisi kemampuan para prajuru adat sangat terbatas, sehingga perlu diupayakan peningkatan, Dengan kata lain dibutuh
kan upaya
pemberdayaan terhadap Desa Adat, termasuk di dalamnya para prajuru adat.
Pemberdayaan
Desa
Adat sebagai desa otonomi merupakan
cara yang terbaik untuk mengembangkan dan meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat adat
dalam
berbagai
aspek
kehidupannya baik
yang menyangkut hubungan dengan
Sang Hyang Widhi
Wasa, dengan sesarana manusia dan hubungannya dengan ajaran sekitarnya.
Mengapa Desa Adat perlu diberdayakan? Setidaknya ada tiga landasan
yang bisa dijadikan sebagai dasar hukum bagi Desa Adat untuk diberdayakan.
Pertama, Undang-undang Dasar
1945 Bab IV pasal18 serta penje1asan tentang
Pemerintahan Daerah yang menyebutkan,
sebagai berikut:
Dalamteritorial Negara Indonesia terdapat lebih
kurang 250 seperti desa dijawa dan bali, negeri di Minangkabau d,usun dan warga di Palembang dan sebagainya.Daerah-daerah
itu mempunyai susunan asli dan oleh karenya
dapat dianggapsebagi daerah
yang bersifatistimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang rnengenai
daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah-daerah
ituakan mcngingati hak-hak asal-usul daerah
tersebut".
Kedua, Peraturan Daerah Propinsi
Bali Nomor : 06 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi dan Peranan Desa Adat sebagai kesatuan masyarakat
Hukum Adat dalam Propinsi Bali Bab I pasall huruf e yang menyebutkan, sebagai berikut :
"
Desa Adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat di propinsi Daerah Tingkat 1 Bali yang mempunyai satu kesatuan
tradisi dan tata pergaulan hidup
masyarakat umat Hindu
secara turun
temurun dalam ikatan KahyanganTiga
(kahyangan
desa), yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus ramah tangganya
sendiri",
Ketiga, Peraturan Menteri Dalarn Negeri Nomor : 3 Tahun 1m tentang: Pemberdayaan dan Pelestarian serta Pengembangan Adat-istiadat, Kebiasa an-kebiasaan Masyarakat dan lembaga Adat serta Data Wilayah
Adminis trasi Pemerintahan
Desa/Kelurahan Bab I pasal 1 (e) sebagai berikut
:
"Lernbaga Ada!adalah sebuah
organisasikemasyarakatanb, aik yang sengaja dibentukmaupun yang secarawajarturnbuhdan berkembangdi dalam
suatu masyaraka!hukurnada!tertentudenganwilayahhukumdan hak atas kekayaan di dalamwiJayahhukumtersebu!sertaberhakdan berwenanguntuk
mengatur, menurus dan menyelesaikanberbagaipermasalahankehidupan
yang terkait dengandan mengacupada
adat-istiadatdan hukumada! yangberlaku".Apabila dicermati secara seksama,
dari ketiga sumber hukum yang mengatur keberadaan otonomi Desa Adat dapat arnbil
simpulan: (1) Ketiga sumber hukum tersebut
semuanya menyatakan pengakuan terhadap Desa
Adat sebagai organisasi kemasyarakatan yang
berhak mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi),
bahkan juga mengatur dan mengurus
harta kekayaannya; (2) Undang-undang Dasar 1945
Bab IV pasal 18 serta
Penjelasannya tentang Pemerintahan Daerah,
secara gamblang menyatakan bahwa negara kesatuan Republik
Indonesia menghormati kedudukan Desa Adat sebagai
daerah istimewa dan segala peraturan negara
akan meng ingati hak-hak asal-usul daerah tersebut, sehingga
seluruh peraturan per
undang-udangan yang dike1uarkan oleh Pemerintah tidak boleh mernper lemah keberdayaan dan
keberadaan Desa
Adat sangat jelas sebagai desa yang berhak mengatur rumah
tangganya sendiri. Secara normatif kedudukan dan keberadaan Desa Adat sangat kuat dasar hukumnya; dan (3)
Sebagai konsekwensi pengakuan
akan
keberadaan
Desa Adat yang mempunyai otonomi, secara tegas dalam peraturan Menter; Dalarn Negeri Nomor: 3 Tahun 1997dinyatakan bahwa Gubemur Kepala
Daerah, Bupati/ WaJikota KepaJa
Daerah mempunyai kewajiban untuk
mernbantu tersedianya sarana
dan prasarana yang memadai bagi
terselenggaranya peranan dan fungsi
Lembaga Adat serta berkewajiban untuk rnenganggarkan dana yang memadai dalarn
setiap Tahun Anggaran
melalui
APBD
masing-masing untuk pemberdayaan, pelestarian
dan
pengemabangan
Lembaga Adat.
Bertitik tolak dari simpulan
tersebut, maka secara normatif prospek keberadaan Desa Adat sebagai
desa otonom adalah
sangat cerah. Tetapi apabila ditinjau dari realitas
sosial, pemberdayaan, pelestarian dan pengem
bangan Desa Adat di Bali dihadapkan kepada berbagai masalah,
kendala,
tantangan dan
sekaligus peluang. Terkait dengan permasalahan tersebut perlu dipertanyakan: Apakah dalam era reformasi dengan berbagai
perubahan
dalam peraturan perundang-undangan dalam
pemerintahan daerah,
secara relitas sosial
Desa
Adat meningkat keberadaan dan keberdayaannya dalam
mengurus rumah tangganya sendiri? Pertanyaan ini perJu dijawab
oleh berbagai kalangan, mengingat peranan dan
fungsi
Desa
Adat
di dalam
pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan kebudayaan Bali sangat
besar
dan
dominan,
Dengan
dasar
hukum
atau deregulasi kebijakan sebagaimana
Di paparkan di atas, maka Desa Adat sangat
berpotensi dalam pengelolaan berbagai sektor
yang ada di wilayahnya.
Berdasarkan
wawancara
yang
dilakukan kepada Bendesa
Adat Beraban, I Made Deka, menyatakan bahwa dalam beberapa hal Desa Adat telah melaksanakan
fungsi dari sebagian
besar Desa Dinas.
Menurut I Made Deka, dibandingkan dengan peranan sebelumnya, Desa Adat sekarang sudah memiliki kewenangan yang lebih luas. Hal ter sebut dapat dilihat dari peranan Desa Adat yang lebih luas yang sifatnya
seperti keikutsertaan Desa
Adat dalam merumuskan kebijakan dalam pelaksanaan program-program
pembangunan
di tingkat
desa.
Selain itu Desa Adat juga turut berperan
dalam bidang keamanan
yaitu dengan memiliki pecalang sebagai ujung tombak Desa Adat dalam bidang keamanan yang dibantu
oleh aparat keamanan setempat dalam
hal ini polsek, ikut serta dalam menjaga keamanan
dan ketertiban demi terdptanya
suasana aman dan tentram. Pengakuan terhadap Desa Adat juga terlihat dari diikutkannya Oesa Adat dalarn penertiban bagi penduduk
pendatang
oleh pemerintah daerah,
Disadari bahwa pranata
sosial yang bersifat
tradisional dalam masya rakat Bali selalu berhasil
menunjukkan kernampuannya, bukan dalam hal penyelenggaraan
pola hidup yang berkaitan
dengan masalah tradisi tapi
juga mengembangkan paham - paham kemajuan. Desa
Adat mempunyai kontribusi besar terhadap keberhasilan pembangunan di Bali. Kinerja
dari perekonomian Bali dalam 25 tahun terakhir
ini baik dalam artian sistem,
struktur dan prestasinya merupakan wujud nyata dari sumbangan masyarakat Bali dalam pembangunan
ekonomi bangsanya.
Sementara itu, pada masa
sebelum dikeluarkannya UU Otonomi Dae rah,
Oesa Ada! tidak dilibatkan daJam pengelolaan objek wisata yang ada
di wilayahnya. Dengan adanya otonomi, Desa Adat sudah diikutsertakan dalam pengelolaan obyek pariwisata. Dengan kata lain, Desa Adat sudah di akui dan berperan secara langsung dalam pengelolaan obyek wisata.
Hal ini
dapat dilihat dari sebagian besar petugas atau staff yang ber
peran di lapangan, seperti dalam proses penetapan biaya
operasional pada objekwisata, perekrutan karyawan atau tenaga kerja yang mayoritas adalah masyarakat Desa Adat setempat, dan
pengelolaan hasil
atau pendapatan dari sektor pariwisata. Namun
demikian, oleh karena
kondisi
Desa Adat masih penuh keterbatasan
dalam kemampuan, maka
pengelolaan objek wisata dalarn Desa
Adat masih berada
daIam pembinaan dan pengawasan
dinas pariwisata dan kebudayaan.
IV. Simpulan
Berdasar uraian di alas dapat disimpulkan, sebagai berikut
1.
Sebelum dikeluarkannya UU tentang Otonomi Daerah,
No. 22 tahun
1999, Desa Adat sarna sekali tidak berperan daIam pengelolaan obyek
wisata. Pengelolaan obyek wisata sepenuhnya berada di tangan pemerintah pusat.
2.
Dengan keluarnya
UU tentang Otonomi
Daerah No. 22/1999,
Desa
Adat mulai dilibatkan daIam proses pengelolaan objek wisata.
Hal itu tentu saja memberi
peluang bagi Desa Adat daIam proses perumusan kebijakan baik itu dalam
hal pengelolaan sumber daya manusianya, operasionaInya maupun
kebijakan tentang pembagian
pendapatan dari sektor pariwisata. Keikut
sertaan Desa Adat daJam pengelolaan obyek pariwisata ini tercermin dari pemberian kewenangan yang diberikan kepada Desa Adat, berupa penunjukkan para staff atau sumber
daya manusia yang bekerja
di objek wisata tanah lot harnpir semuanya
ada lah pcnduduk asli
desa adat beraban, sehingga memanfaatan potensi desa setempat
khususnya
dalam
bidang ketenagakerjaan sudah dilaksanakan
secara maksimal.
Meski demikian, Agar
sasaran utama pengelolaan obyek wisata ini dapat
berjalan sesuai dengan harapan
maka diperlukan suatu pengawasan atau kontrol terhadap
pleksanaan atau kinerja dari para
aparat yang bertugas di lapangan, yang
dilakukan oleh dinas pariwisata.
DAFTAR PUSTAKA
A.A. Anom Uthama,
Des« Pakramall: Sejarall Eksistensi dall Strategi
PemberdaYIl1lIl.
A.W. Widjaya, Titik Bernt Otonomi Pada
Daernh Tingknt ll, Jakarta: Rajawa;1
Press, 1992.
Bratakusumah, Deddy
Supriadi, dan Dadang
Solihin, Otonomi Penyeleng
garaan Pemerintah Daerah, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2001.
Harsono, Hukum Tala Negara
Pemerintahan Lokal dati Masa ke Masa, Yogya-karla: Liberty, 1992.
I Nguruh Gordu Gusti, Manajemen dan Kepemimpinan
Desa Adat di Propinsi Bali dalam Perspektif Era Globalisasi, Denpasar: STIE Satya
Dharma Singaraja dan Widya Knya
Gamatama, 1999.
I Widarta, 2001, Cara Memahami Otonomi Daerah,
Yogyakarta: Lapera
Pustaka Utama.
I Gusti Raka Gede, 1995, Monografi
Pulau Bali, Jakarta: Pusat Djawatan
Pertanian Rakyat.
Kepala Dinas Kebudayaan propinsi Daerah Tingkat
I Bali, "Karateristik dan Otonomi Desa Adat suatu kajian
Praktis", Makalah, Di sampaikan dalam Seminar
"Peranan Desa
Adat dalam Pem bangunan
Daerah Bali", 13 dan 14 September 1994, Universitas
Udayana, Bali.
Majelis Pembina Lembaga
Adat Daerah TK I Bali, Desa Adat dan Pariwisata
Bali, Bali:
Proyek Pemantapan Budaya Adat, 1992/1993.
Sri Sultan Hamengku Buwono IX, 2001, 'Desentralisasi dan Good
Governance di Tingkat Desa',
Makalah Program S2 Sosiologi - UGM,
Yogyakarta: UGM.
Komentar
Posting Komentar